314 Lapter di Papua Belum Penuhi Standar Minimal

Dinas Perhubungan Papua mengakui 314 Lapangan Terbang (Lapter) di Bumi cenderawasih belum memenuhi standar minimal, namun masih didarati oleh pesawat perintis.


Kepala Dinas Perhubungan Papua Djuli Mambaya mengatakan, meski menyalahi aturan, namun operasionalnya tetap dijalankan demi kepentingan jasa pengangkutan orang dan barang.


“Sebab jika Lapter di tutup pun pembagunan bisa macet. Makanya hal ini kita sampaikan ke Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) saat mereka berkunjung ke Jayapura”.


“Harapan kita agar kondisi ini diteruskan ke Kementerian Perhubungan supaya bisa menjadi perhatian pusat,” terang Djuli di Jakarta, Minggu (2/10).


Djuli juga menggaris bawahi sebagian besar lapangan terbang di Papua, pembangunannya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat. Mengapa demikian, pemerintah daerah tak memiliki anggaran yang memadai untuk membangun Lapter.


”Bayangkan masyarakat membuat landasan pacu (runaway) sendiri. Memang beresiko namun hal ini demi mereka sendiri”.


“Sebab masyarakat tau hanya dengan dibuka penerbangan, keterisolasian wilayah bisa ditembus. Serta hanya dengan dibuka Lapter, kesejahteraan mereka akan ebih meningkat,” katanya.


Pada kesempatan itu, Djuli mengaku bangga pihak KNKT berkeinginan meneruskan informasi ini langsung kepada Menteri Perhubungan. Dengan harapan, ada pendanaan secara berkesinambungan untuk membangun 314 Lapter tak memenuhi standar minimal di Bumi Cenderawasih.


“Sebab keberadaan lapangan terbang yang tidak memenuhi standar bisa menyebabkan kecelakaan yang dapat mengancam keselamatan kru pesawat dan penumpang yang ada di dalamnya,” ucap dia.


Sementara menyinggung mengenai pemangkasan anggaran, kata Djuli, hal itu tak berpengaruh pada program-program lainnya,mengingat Dinas Perhubungan sudah melakukan penyesuaian.


“Hasil penyesuaian mengalihkan semua program pada kegiatan yang langsung dirasakan oleh masyarakat dalam 1-2 tahun kedepan.


"Makanya, untuk subsidi penerbangan perintis, kita harus lapang dada menerima penundaan. Harus akui bahwa ada program prioritas yang lebih penting untuk dikejar,” terangnya.