53 Usaha Pertambangan di Papua Belum Sesuai Aturan

Sekitar 53 dari 132 pelaku usaha pertambangan di Papua, dilaporkan belum mendapat sertifikasi clean and clear (CnC), guna mendapatkan rekomendasi eksportir terdaftar (ET).

Diduga, usaha pertambangan yang belum CnC, akibat terhambatnya penyampaian dokumen dan belum adanya rekomendasi dari pemerintah daerah.

“Meski begitu, 79 pelaku usaha diantaranya dilaporkan sudah resmi menerima sertifikasi itu, sehingga dapat melakukan kegiatan pertambangan di wilayah Papua,” terang Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral, Ditjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Susigit, kepada pers di Jayapura, Rabu (23/8) kemarin.

Meski begitu, dia mengatakan untuk masalah perijinan tambang, memang dibutuhkan waktu yang cukup lama, antara tujuh sampai dengan delapan tahun.

"Makanya akan butuh biaya maupun investasi dan personil yang besar. Bisa-bisa juga nanti di tahun ke 10 baru bisa berproduksi”.

“Makanya, betul-betul harus dibuat kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan ekonomis lainnya. Karena setiap pekerjaan pertambangan akan muncul dampak kepada lingkungan sekitar di masa mendatang. Makanya prosesnya menjadi panjang," kata dia.

Dia menambahkan, sampai saat ini Pemerintah Pusat melalui Ditjen Minerba Kementerian ESDM, terus mendorong dimasukkannya kepentingan masyarakat adat dan UU Otsus Papua didalam revisi Undang Undang No.24 tahun 2012 tentang Pertambangan oleh DPR RI.

Pihaknya juga mengusulkan agar kedepan dapat menyusun satu regulasi penetapan di sektor pertambangan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat adat maupun UU Otsus.

"Sebab keterlibatan masyarakat adat sangat penting. Karena mereka juga bagian dari proses pembangunan yang harus dilibatkan,” tuntasnya.