BPS Kembali Turun Mencacah di Rumah Warga

– Badan Pusat Statistik (BPS) Papua kembali melakukan penyisiran ulang ke rumah-rumah warga selama 15 hari (1 s/d 15 Juni), guna mengantisipasi rumah tangga yang tak sempat dicacah oleh petugas Sensus Ekonomi (SE).


Hal demikian dikatakan Kepala BPS Papua JB Priyono di Jayapura, Rabu (1/6).

“Kita mengecek dulu jangan - jangan petugas kita masih banyak yang miss informasi (saah dengar). Misalnya satu tumah tangga ketika didatangi menurut petugas tidak ada kegiatan usaha disana, namun setelah diverifikasi dan di data ulang ternyata ada,” kata dia.


Ia mengatakan penyisiran ulang ini untuk menutupi kurang telitinya petugas sensus hingga menyebabkan hasil pencacahan menjadi tak akurat.


“Sebab saya ingin berikan gambaran bahwa dalam satu RT pasti ada sumber pendapatan. Contohnya, saya ini kan PNS yang juga termasuk buruh, tetapi jika ada salah satu rumah tangga berprofesi sebagai pedagang online ataupun tukang ojek, inilah yang harus disensus karena menghasilkan sumber pendapatan dari kegiatan usahanya”.


“Dan kalau terlewati ini menjadiketidakjelian petugas sensus kami. Sehingga tujuan menyisir ulang adalah untuk menutupi kekurangan tersebut,” jelas dia.


Menurut dia, usai dilakukan penyisiran selama 15 hari, data tersebut selanjutnya akan diverifikasi dan dioleh untuk selanjutnya dirilis pada pidato Presiden Joko Widodo, 17 Agustus 2016 mendatang di Jakarta.


“Sehingga kalau nanti teman-teman pers maupun masyarakat menanyakan hasil Sensus Ekonomi kapan diumumkan? Jawab kami tentunya pada pidato Presiden di 17 Austus. Namun kita sekarang ini fokus pada verifikasi di lapangan dulu supaya jangan nanti kita punya perkiraan tentang banyaknya usaha di Papua menjadi akurat,” jelas dia.


Ditanya mengenai kendala pelaksanaan Sensus Ekonomi, Priyono menambahkan isu penghipnotis yang menyamar menjadi petugas sensus ekonomi, menyebabkan para responden menjadi ragu-ragu untuk dicacah.


“Namun disatu sisi kami menyambut baik adanya kewaspadaan dari masyarakat. Hanya yang menjadi soal ketika masyarakat menolak untuk disensus,” tuturnya.